Bengkulu, Worldosint.com– Proses penegakan hukum di Provinsi Bengkulu masih menjadi tanda tanya besar bagi sejumlah aktivis dan pegiat anti-korupsi yang terus menyuarakan keadilan hukum di tengah masyarakat. Setelah kasus dugaan korupsi di sektor pertambangan batu bara yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp500 miliar, kini perhatian para aktivis tertuju pada dugaan perambahan kawasan hutan oleh sejumlah perusahaan perkebunan sawit di Bengkulu.

Berbagai regulasi telah menegaskan larangan terhadap pelanggaran tersebut, seperti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Kawasan Hutan. Namun, implementasinya dinilai belum maksimal di Bengkulu.

Terkait persoalan ini, Ormas Garbeta—salah satu organisasi yang konsisten memperjuangkan isu perambahan hutan—menyuarakan sikap tegas. Ketua Umum Garbeta, Deddy Mulyadi, menyampaikan kepada awak media bahwa sudah seharusnya pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) di Provinsi Bengkulu menunjukkan keberpihakan pada keadilan dalam pengambilan kebijakan dan tindakan hukum.

“Lahan kawasan hutan yang dikelola secara ilegal oleh perusahaan perkebunan sawit dan menimbulkan kerugian negara harus dikembalikan kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan bahwa ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat’. Namun, di Bengkulu, ini masih sebatas isapan jempol,” ujarnya.

Deddy juga menegaskan bahwa Garbeta tidak akan berhenti memperjuangkan penegakan hukum, khususnya terkait dugaan perambahan kawasan hutan negara oleh PT Sandabi Indah Lestari (PT SIL) di Register 71 seluas kurang lebih 750 hektare tanpa izin.

“Regulasinya sangat jelas, mulai dari UU No. 41 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2013, hingga belum adanya sanksi tegas dari aparat penegak hukum. Ini menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di daerah,” jelasnya.

Lebih lanjut, Deddy menyoroti bahwa di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, melalui Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan, belum terlihat langkah nyata dalam menindak pelanggaran yang dilakukan PT SIL, yang diduga telah merambah kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) di Register 71 sejak tahun 2001 atau sekitar 25 tahun terakhir.

“Jika mengacu pada PP No. 45 Tahun 2025 (perubahan dari PP No. 24 Tahun 2021) tentang penghitungan denda bagi perkebunan sawit ilegal di dalam kawasan hutan, potensi kerugian negara sangat besar. Kami dari Garbeta sudah melaporkan hal ini ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu, namun hingga kini belum ada tindakan nyata,” ujar Deddy.

Ia pun mempertanyakan mengapa PT SIL seolah-olah begitu “kebal hukum” di Provinsi Bengkulu.

“Laporan kami berdasarkan aturan resmi, yakni PP 45/2025, terkait perhitungan denda. Tapi entah mengapa PT SIL begitu kuat di Bengkulu, sampai-sampai terkesan tidak ada yang berani menindaklanjuti laporan dari masyarakat,” tegasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here